BAB II
KERANGKA TEORITIS PERJANJIAN GADAI
TANAH/SAWAH
A. Pengertian Gadai Tanah / Sawah
Gadai adalah hubungan hukum antara
seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang telah menerima uang gadai
dari padanya. Selama uang gadai belum dikembalikan, tanah tersebut dikuasai
oleh “pemegang gadai”. Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang
gadai. Pengembalian uang gadai atau yang lazim disebut “penebusan”, tergantung
pada kemauan dan kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan.
Gadai dapat diartikan menyerahkan tanah
dari penggadai (pemilik tanah) kepada pemegang gadai (pemegang gadai) untuk
menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai dari pemegang gadai, dengan
ketentuan penggadai tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan
menebusnya kembali dari pemegang gadai. Pada dasarnya besar uang tebusan adalah
sama dengan uang yang diserahkan pemegang gadai pada awal transaksi gadai
kepada penjual gadai, tidak ada perbedaan nominal uang.
Uang yang akan diterima penggadai
tentunya adalah yang disepakati kedua belah pihak. Sedangkan waktu
pengembaliannya tergantung pada kesediaan dan kemampuan pihak penggadai. Dengan
demikian waktu gadai adalah tidak pasti. Semakin lama waktu gadai tentunya
membawa resiko tersendiri yaitu perubahan nilai mata uang yang berakibat
berbedanya besaran uang dari transaksi awal gadai dengan transaksi pengembalian
tanah (tebusan).
Gadai adalah pinjam-meminjam uang dalam batas waktu tertentu dengan
menyerahkan barang sebagai tanggungan, jika telah sampai pada waktunya tidak
ditebus, barang itu menjadi hak yang memberi pinjaman.Pengertian gadai di atas
berbeda dengan pengertian gadai sawah yang diakui dalam hukum adat. Pengertian
gadai di atas lebih menjelaskan perngertian gadai dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPer).
Antara pengertian gadai dalam hukum adat
dan KUHPer, ada banyak perbedaan yang menonjol. Meskipun keduanya memiliki
persamaan berupa penggadaiaan sesuatu namun dalam pelaksanaan gadai sangat
terlihat perbedaannya. Gadai dalam hukum adat umumnya dilakukan dalam kehidupan
masyarakat pedesaan yang masih memegang teguh kebiasaan yang sudah lama terjadi
dan masih dilaksanakan. Sementara gadai dalam KUHPer lebih mengarah pada
pelaksanaan gadai yang dijalankan oleh lembaga pegadaian.
1. Persamaan pengertian gadai dalam Hukum Adat dan KUHPer.
Pada dasarnya pelaksanaan gadai dalam Hukum
Adat dan KUHPer adalah perjanjian pinjam-meminjam uang. Penggadai sama-sama
membutuhkan sejumlah uang sehingga melakukan gadai sebagai usaha mendapatkan
uang dalam waktu singkat. Penggadai sebagai pihak yang meminjam uang
menggadaikan barang atau sawahnya. Sawah/barang yang digadaikan akan
dikembalikan ke penggadai dengan cara menebusnya dari pemegang gadai.
Dalam gadai baik menurut hukum adat dan
KUHPer sama-sama menyerahkan jaminan. Sawah/barang yang digadaikan adalah
sebagai barang jaminan. Penggadai akan menerima uang dari pemegang gadai dengan
Pasal 1150 KUHPer, Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang berpiutang
atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang
atau oleh seorang lainnya atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si
berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara
didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya; dengan pengecualian biaya
untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk
menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus
didahulukan. diserahkannya jaminan atas pinjaman uang tersebut. Jaminan
tersebut akan dikuasai oleh pemegang gadai selama pelaksanaan gadai sampai
ditebusnya jaminan tersebut oleh penggadai.
Inisiatif pelaksanaan gadai berasal dari
keinginan pihak penggadai. Umumnya alasan pelaksanaan gadai karena didorong
oleh adanya tuntutan kebutuhan penggadai. Pemegang gadai hanya pasif menerima
tawaran dari penggadai. Setelah bertemunya pihak penggadai dan pemegang gadai
maka antara kedua pihak membuat kesepakatan atas pelaksanaan gadai. Ketika
terjadi kesepakatan antara penggadai dan pemegang gadai, maka terjadilah
perjanjian pelaksanaan gadai.
2. Perbedaan pengertian gadai dalam Hukum Adat dan KUHPer.
No.
|
Perbedaan Gadai Tanah
|
Gadai KUHPer
|
1
|
Objek
gadai Sawah atauTanah
|
Barang
bergerak
|
2
|
Penguasaan
Penguasaan disertai hak untuk memfaatkan
|
Hanya
menguasai (menyimpan dan merawat)
|
3
|
Waktu
gadai Gadai berakhir dengan dibayarnya tebusan
|
tanpa ada
kepastian waktu berakhirnya gadai Gadai berakhir sesuai dengan waktu yang
diperjanjikan dengan disertai dengan pembayaran tebusan.
|
4
|
Para pihak
Penggadai, pemegang gadai dan dimungkinkan adanya pihak ketiga, contoh:
sewa-menyewa sawah
|
bagi-hasil
Penggadai dan pemegang gadai (lembaga gadai).
|
5
|
Resiko
Tidak dapat menebus, gadai tetap berlangsung sampai ditebus oleh penggadai,
dapat diselesaikan dengan juallepas jika di inginkan Tidak ditebus
|
barang
menjadi milik pegadaian sebagai pemegang gadai, pegadaian melakukan
pelelangan
|
Tabel Perbedaan Gadai Tanah dengan Gadai
KUHPer (Lembaga Jaminan)
Setelah adanya perjanjian gadai,
penggadai akan menyerahkan jaminan atas gadai tersebut. Perbedaan pertama
adalah mengenai apa yang dijadikan jaminan. Dalam gadai hukum adat yang
dijadikan jaminan adalah tanah (sawah) saja, hukum adat tidak mengenal pelaksanaan
gadai yang dilakukan antara individu dengan individu dengan objek barang
bergerak. Sementara dalam KUHPer yang dijaminkan berupa barang bergerak, barang
bergerak disini dapat dicontohkan seperti perhiasan, barang elektronik, dan
lain sebagainya. Barang bergerak adalah barang yang apabila dipindahkan maka
tidak akan mengubah bentuk dan fungsinya.
Jika ditinjau dari segi penguasaan benda
yang menjadi jaminan pun berbeda. Pemegang gadai adalah pihak yang menguasai
benda yang dijadikan jaminan. Pemegang gadai dalam hukum adat menguasai benda
jaminan dan dapat memanfaatan jaminan gadai (sawah). Sawah dapat dimanfaatkan
dengan cara menanaminya selama pelaksanaan gadai sampai penggadai mampu
menebusnya. Sementara dalam gadai KUHPer, penguasaan atas barang gadai tanpa
adanya pemanfaatan dari benda jaminan tersebut. Pelaksanaan gadai yang
disebutkan dalam KUHPer, pemegang gadai (lembaga gadai-pegadaian) hanya
berkuasa dan berkewajiban untuk menyimpan serta menjaga benda yang dijaminkan
tanpa adanya hak untuk memanfaatkan barang jaminan tersebut.
Waktu pelaksanaan gadai dalam hukum adat
pada dasarnya tidak ditentukan. Penggadai tidak berkewajiban menebus gadai
dalam waktu tertentu. pelaksanaan gadai berakhir ketika ada kemauan dan
kemampuan penggadai untuk menebus gadai, sehingga pelaksanaan gadai dalam hukum
adat tidak dapat dipastikan kapan berakhirnya. Berbeda dengan KUHPer, lamanya
waktu gadai ditentukan pada perjanjian yang disepakati penggadai dan pemegang
gadai. Penggadai berkewajiban menebus gadai sesuai dengan waktu yang diajukan
oleh pemegang gadai sesuai dengan yang diperjanjikan. Dapat disimpulkan bahwa
waktu gadai antara hukum adat dan KUHPer mempunyai ketentuan yang berbeda.
Para pihak dalam gadai adalah penggadai
sebagai pihak pertama dan pemegang gadai sebagai pihak kedua. Dalam pelaksanaan
gadai hukum adat, pemegang gadai dapat melakukan hubungan hukum lain dengan
pihak ketiga. Dengan catatan ketika penggadai menebusnya kembali maka pemegang
gadai harus mengembalikan sawah tersebut. Hubungan antara pemegang gadai dengan
pihak ketiga dapat berupa sewa-menyewa atau bagi hasil. Dalam perjanjian dengan
pihak ketiga, pemegang gadai tidak berkewajiban meminta persetujuan dengan
penggadai, penggadai hanya mempunyai hubungan dengan pemegang gadai. Sebagai contoh
bisa diadakannya perjanjian sewa sawah atau bagi hasil sawah yang
dilakukan pemegang gadai dengan pihak ketiga. Perbuatan hukum yang
dilakukan oleh pemegang gadai dengan pihak ketiga diperbolehkan selama hanya
sebatas berada dalam lingkup penguasaan. Ketika perbuatan hubungan hukum yang
dilakukan dengan pihak ketiga melebihi itu maka tidak diperbolehkan, seperti
perjanjian jual-beli antara pemegang gadai dengan pihak ketiga. Hal tersebut
tidak diperbolehkan karena melebihi penguasaan, perbuatan jual-beli hanya bisa
dilakukan oleh pemilik sawah atau tanah bukan penguasa sawah atau tanah. Dalam
KUHPer, pemegang gadai (pegadaian) tidak berhak untuk memanfaatkan barang gadai
apalagi sampai melakukan hubungan hukum dengan pihak lain. Pemegang gadai hanya
berhak menyimpan dan berkewajiban menjaga barang yang digadaikan itu.
Perbedaan selanjutnya adalah konsekuensi
ketidakmampuan penggadai dalam menebus barang gadai. Pelaksanaan gadai hukum
adat tidak mengatur lamanya waktu gadai, gadai akan berakhir setelah penggadai
menebus barang gadai. Jika pengadai belum mampu menebus maka hubungan gadai
tersebut akan terus berlangsung. Apabila pemegang gadai membutuhan uang
sementara penggadai belum mampu menebusnya maka sawah gadai tersebut dapat
dialihkan hubungan gadainya, sering disebut dengan mengoper gadai. Pemegang
gadai menggadaikan lagi sawah tentunya dengan sepengetahuan pemilik sawah dalam
hal ini penggadai. Cara lain yang dapat ditempuh jika penggadai tidak mampu
menebus sawahnya adalah dengan jual-lepas. Pemegang gadai ingin mengakhiri
hubungan gadai sementara penggadai tidak mampu menebusnya maka dapat diakhiri
dengan jual-lepas. Penggadai menjual tanah tersebut ke pemegang gadai, pemegang
gadai akan menambah sejumlah uang untuk membeli sawah tersebut sehingga harganya
sesuai dengan harga jual pada waktu itu. Sedangkan dalam pelaksanaan gadai
dalam KUHPer, ketika penggadai tidak mampu membayar tebusan barang gadai dalam
waktu yang telah disepakati maka pegadaian sebagai pemegang gadai akan
melakukan lelang. Barang jaminan yang tidak ditebus pada waktunya akan
dilelang, hasil dari lelang akan digunakan untuk membayar uang yang dipinjam
penggadai dari pemegang gadai.
BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Dasar Hukum Perjanjian Gadai Tanah /
Sawah
Dalam istilah fiqih, gadai
dikenal dengan sebutan ar-rahn. Para fuqaha sepakat
membolehkan praktek gadai ini, asalkan tidak terdapat praktek yang dilarang,
seperti riba atau penipuan. Di masa Rasulullah praktek rahn pernah dilakukan.
Kita dapati banyak riwayat tentang hal itu dan salah satunya adalah hadits berikut
ini.
Dari Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang
yahudi dengan cara menggadaikan baju besinya. (HR Bukhari dan Muslim)
Dahulu ada orang menggadaikan
kambingnya. Rasul ditanya bolehkah kambingnya diperah. Nabi mengizinkan, sekadar
untuk menutup biaya pemeliharaan.
Apabila ada ternak digadaikan,
punggungnya boleh dinaiki (oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah
mengeluarkan biaya (menjaga)nya… Kepada orang yang naik ia harus mengeluarkan
biaya perawatannya”, (HR Jamaah kecuali Muslim dan Nasa’i, Bukhari no. 2329,
kitab Ar-Rahn).
Dari kedua hadits di atas, bisa kita
simpulkan bahwa Rasullulah mengizinkan kita melakukan praktek gadai, bahkan
dibolehkan juga buat kita untuk mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan.
Sebagai menutup biaya pemeliharaan.
Biaya pemeliharaan ini yang kemudian
dijadikan ladang ijtihad para pengkaji keuangan syariah, sehingga gadai atau rahn ini
menjadi produk keuangan syariah yang cukup menjanjikan.
Pesatnya pertumbuhan perokonomian di
Indonesia, maka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang dianggap sebagai
keperluan bersifat mendesak, maka pemerintah memberikan jasa di bidang
perkreditan yang didasarkan jaminan bagi orang yang meminjam dari jasa
pegadaian. Pegadaian adalah salah satu dari lembaga perkreditan yang ditangani
oleh pemerintah di bawah naungan Depertemen Keuangan. Dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat yang membutuhkan dana yang sifatnya mendesak.
Gadai merupakan suatu perjanjian pemindahan hak milik kepada orang lain setelah
adanya peminjaman sejumlah uang dengan memberikan jaminan barang bergerak.
Gadai bukan perjanjian pemilikan atas suatu benda dan bukan pula perjanjian
atas manfaat suatu benda (seperti sewa menyewa), melainkan hanya
sekedar jaminan untuk suatu utang piutang.
B. Upaya Penyelesaian Permasalahan Perselisihan atau Konflik Waktu Perjanjian
Gadai Tanah/Sawah.
Salah satu yang sangat rentan dapat
menimbulkan permasalahan dan konflik dalam perjanjian gadai tanah diantara para
pihak yang melakukan perjanjian ini yaitu mengenai waktu gadai yang merupakan
masa atau lamanya barang gadai berada di tangan penerima gadai hingga sampai
pada saat pemberi gadai dapat menebusnya kembali.
Kebijaksanaan hukum adat dalam upaya
agar tidak terjadi perselisihan para pihak yang melakukan perjanjian, waktu
penebusan gadai tanah tersebut terserah pada pemberi gadai, akan tetapi hal ini
tidak berarti pemberi gadai merugikan penerima gadai, kecuali untuk tanah gadai
yang tidak diusahakan. Untuk tanah gadai yang diusahakan harus memperhatikan
hal-hal sebagai berikut :
a. Untuk tanah sawah, jika yang mengerjakan sawah itu penerima gadai maka,
pemberi gadai harus menunggu penyerahan kembali tanah gadai setelah tanaman
dipanen atau “hak ketam” (memungut hasil tanaman/panen) tetap berada pada
pemilik tanaman atau penggarap tanaman itu, kecuali disepakati kedua belah
pihak bahwa pemberi gadai mengganti kerugian yang diminta penerima
gadai/penggarap.
b. Untuk tebat atau tanah perikanan yang diusahakan pemberi
gadai harus memberikan kesempatan bagi penerima gadai/pengusaha perikanan
tersebut untuk menikamati hasil ikan semusim atau mengambil kembali bibit
ikannya demikian pula untuk buah-buahan kesempatan panen bagi penerima
gadai/penggarapnya harus diberikan.
Seperti yang telah tercantun dalam pasal
7 Undang-Undang Nomor 56 PRP tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian
menyebutkan mengenai batas waktu penebusan gadai atas tanah pertanian
dimaksudkan untuk melindungi pihak yang ekonominya lemah yaitu petani, yang
dalam keadaan mendesak dan memerlukan uang untuk mencukupi kebutuhan
sehari-harinya sehingga mereka menggadaikan tanah sawahnya dalam tenggang waktu
7 (tujuh) tahun.
Mengenai waktu gadai, objek gadai, harga gadai (nilai atas objek gadai), serta
kesepakatan-kesepakatan lainnya antara para pihak dituangkan dalam sebuah
perjanjian gadai tanah yang bersifat tertulis. Meskipun pada dasarnya hukum
adat tidak mengenal tulisan sebagai alat bukti dalam suatu perbuatan hukum yang
dibuat oleh warganya. Namun apabila melihat pada kelebihan dari bentuk
perjanjian gadai adat yang dibuat secara tertulis dan lisan, maka perjanjian
gadai adat yang dibuat dalam bentuk tulisan akan lebih kuat dan memberikan
perlindungan hukum bagi para pihak dibandingkn perjanjian yang dibuat hanya
dalam bentuk lisan saja.
Upaya masa tenggang waktu penebusan kembali tanah yang dijadikan sebagai
objek gadai telah berakhir, pemberi gadai (pemilik tanah) setiap waktu dapat
saja menggunakan hak tebusnya meskipun masa perjanjian telah lama berakhir, hak
tebus ini tidak akan hilang karena kadaluwarsa (verjaring) atau dengan kata
lain akan tetap ada.
Upaya lain yang dapat menjadi salah satu alternative penyelesaian masalah
tidak dapat ditebusnya tanah yang merupakan objek gadai oleh pemilik adalah
penerima gadai dapat menggadaikan kembali (mengalih gadaikan) tanah tersebut
kepada pihak lain dengan ataupun tanpa persetujuan si pemilik tanah (pemberi
gadai), hal ini dapat terjadi apabila penerima gadai dalam keadaan sangat
memerlukan uang, sedangkan si penerima gadai belum mampu untuk menggunakan hak
tebusnya karena belum mempunyai uang misalnya. Upaya lain adalah dengan menjual
tanah yang dijadikan sebagai objek gadai tersebut kepada si penerima gadai
ataupun kepada pihak lainnya.
Dengan
demikian apabila pemilik tanah (pemberi gadai) belum mampu menebus kembali
tanah yang merupakan objek gadai sedangkan waktu penebusannya telah lewat, maka
tanah tersebut tidak bisa langsung menjadi milik si penerima gadai secara
otomatis, karena perlu diadakannya suatu transaksi lagi seperti tersebut
diatas. Namun apabila tanah yang menjadi objek gadai dijual oleh pemberi gadai
kepada pihak lain, maka hasil dari penjualan tersebut digunakan untuk
mengembalikan uang milik penerima gadai dan kelebihan dari hasil penjualan
dikembalikan pada pemilik (pemberi gadai).