Minggu, 11 November 2012

Pengertian Gadai Tanah / Sawah



BAB II
                   KERANGKA TEORITIS PERJANJIAN GADAI TANAH/SAWAH                  
A.    Pengertian Gadai Tanah / Sawah
Gadai adalah hubungan hukum antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang telah menerima uang gadai dari padanya. Selama uang gadai belum dikembalikan, tanah tersebut dikuasai oleh “pemegang gadai”. Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai. Pengembalian uang gadai atau yang lazim disebut “penebusan”, tergantung pada kemauan dan kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan.
Gadai dapat diartikan menyerahkan tanah dari penggadai (pemilik tanah) kepada pemegang gadai (pemegang gadai) untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai dari pemegang gadai, dengan ketentuan penggadai tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali dari pemegang gadai. Pada dasarnya besar uang tebusan adalah sama dengan uang yang diserahkan pemegang gadai pada awal transaksi gadai kepada penjual gadai, tidak ada perbedaan nominal uang.
Uang yang akan diterima penggadai tentunya adalah yang disepakati kedua belah pihak. Sedangkan waktu pengembaliannya tergantung pada kesediaan dan kemampuan pihak penggadai. Dengan demikian waktu gadai adalah tidak pasti. Semakin lama waktu gadai tentunya membawa resiko tersendiri yaitu perubahan nilai mata uang yang berakibat berbedanya besaran uang dari transaksi awal gadai dengan transaksi pengembalian tanah (tebusan).
                Gadai adalah pinjam-meminjam uang dalam batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan, jika telah sampai pada waktunya tidak ditebus, barang itu menjadi hak yang memberi pinjaman.Pengertian gadai di atas berbeda dengan pengertian gadai sawah yang diakui dalam hukum adat. Pengertian gadai di atas lebih menjelaskan perngertian gadai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).
Antara pengertian gadai dalam hukum adat dan KUHPer, ada banyak perbedaan yang menonjol. Meskipun keduanya memiliki persamaan berupa penggadaiaan sesuatu namun dalam pelaksanaan gadai sangat terlihat perbedaannya. Gadai dalam hukum adat umumnya dilakukan dalam kehidupan masyarakat pedesaan yang masih memegang teguh kebiasaan yang sudah lama terjadi dan masih dilaksanakan. Sementara gadai dalam KUHPer lebih mengarah pada pelaksanaan gadai yang dijalankan oleh lembaga pegadaian.
1. Persamaan pengertian gadai dalam Hukum Adat dan KUHPer.
Pada dasarnya pelaksanaan gadai dalam Hukum Adat dan KUHPer adalah perjanjian pinjam-meminjam uang. Penggadai sama-sama membutuhkan sejumlah uang sehingga melakukan gadai sebagai usaha mendapatkan uang dalam waktu singkat. Penggadai sebagai pihak yang meminjam uang menggadaikan barang atau sawahnya. Sawah/barang yang digadaikan akan dikembalikan ke penggadai dengan cara menebusnya dari pemegang gadai.
Dalam gadai baik menurut hukum adat dan KUHPer sama-sama menyerahkan jaminan. Sawah/barang yang digadaikan adalah sebagai barang jaminan. Penggadai akan menerima uang dari pemegang gadai dengan Pasal 1150 KUHPer, Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lainnya atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya; dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan. diserahkannya jaminan atas pinjaman uang tersebut. Jaminan tersebut akan dikuasai oleh pemegang gadai selama pelaksanaan gadai sampai ditebusnya jaminan tersebut oleh penggadai.
Inisiatif pelaksanaan gadai berasal dari keinginan pihak penggadai. Umumnya alasan pelaksanaan gadai karena didorong oleh adanya tuntutan kebutuhan penggadai. Pemegang gadai hanya pasif menerima tawaran dari penggadai. Setelah bertemunya pihak penggadai dan pemegang gadai maka antara kedua pihak membuat kesepakatan atas pelaksanaan gadai. Ketika terjadi kesepakatan antara penggadai dan pemegang gadai, maka terjadilah perjanjian pelaksanaan gadai.
2. Perbedaan pengertian gadai dalam Hukum Adat dan KUHPer.
No.
Perbedaan Gadai Tanah
Gadai KUHPer
1
Objek gadai Sawah atauTanah
Barang bergerak
2
Penguasaan Penguasaan disertai hak untuk memfaatkan
Hanya menguasai (menyimpan dan merawat)
3
Waktu gadai Gadai berakhir dengan dibayarnya tebusan
tanpa ada kepastian waktu berakhirnya gadai Gadai berakhir sesuai dengan waktu yang diperjanjikan dengan disertai dengan pembayaran tebusan.
4
Para pihak Penggadai, pemegang gadai dan dimungkinkan adanya pihak ketiga, contoh: sewa-menyewa sawah
bagi-hasil Penggadai dan pemegang gadai (lembaga gadai).
5
Resiko Tidak dapat menebus, gadai tetap berlangsung sampai ditebus oleh penggadai, dapat diselesaikan dengan juallepas jika di inginkan Tidak ditebus
barang menjadi milik pegadaian sebagai pemegang gadai, pegadaian melakukan pelelangan
Tabel Perbedaan Gadai Tanah dengan Gadai KUHPer (Lembaga Jaminan)
Setelah adanya perjanjian gadai, penggadai akan menyerahkan jaminan atas gadai tersebut. Perbedaan pertama adalah mengenai apa yang dijadikan jaminan. Dalam gadai hukum adat yang dijadikan jaminan adalah tanah (sawah) saja, hukum adat tidak mengenal pelaksanaan gadai yang dilakukan antara individu dengan individu dengan objek barang bergerak. Sementara dalam KUHPer yang dijaminkan berupa barang bergerak, barang bergerak disini dapat dicontohkan seperti perhiasan, barang elektronik, dan lain sebagainya. Barang bergerak adalah barang yang apabila dipindahkan maka tidak akan mengubah bentuk dan fungsinya.
Jika ditinjau dari segi penguasaan benda yang menjadi jaminan pun berbeda. Pemegang gadai adalah pihak yang menguasai benda yang dijadikan jaminan. Pemegang gadai dalam hukum adat menguasai benda jaminan dan dapat memanfaatan jaminan gadai (sawah). Sawah dapat dimanfaatkan dengan cara menanaminya selama pelaksanaan gadai sampai penggadai mampu menebusnya. Sementara dalam gadai KUHPer, penguasaan atas barang gadai tanpa adanya pemanfaatan dari benda jaminan tersebut. Pelaksanaan gadai yang disebutkan dalam KUHPer, pemegang gadai (lembaga gadai-pegadaian) hanya berkuasa dan berkewajiban untuk menyimpan serta menjaga benda yang dijaminkan tanpa adanya hak untuk memanfaatkan barang jaminan tersebut.
Waktu pelaksanaan gadai dalam hukum adat pada dasarnya tidak ditentukan. Penggadai tidak berkewajiban menebus gadai dalam waktu tertentu. pelaksanaan gadai berakhir ketika ada kemauan dan kemampuan penggadai untuk menebus gadai, sehingga pelaksanaan gadai dalam hukum adat tidak dapat dipastikan kapan berakhirnya. Berbeda dengan KUHPer, lamanya waktu gadai ditentukan pada perjanjian yang disepakati penggadai dan pemegang gadai. Penggadai berkewajiban menebus gadai sesuai dengan waktu yang diajukan oleh pemegang gadai sesuai dengan yang diperjanjikan. Dapat disimpulkan bahwa waktu gadai antara hukum adat dan KUHPer mempunyai ketentuan yang berbeda.
Para pihak dalam gadai adalah penggadai sebagai pihak pertama dan pemegang gadai sebagai pihak kedua. Dalam pelaksanaan gadai hukum adat, pemegang gadai dapat melakukan hubungan hukum lain dengan pihak ketiga. Dengan catatan ketika penggadai menebusnya kembali maka pemegang gadai harus mengembalikan sawah tersebut. Hubungan antara pemegang gadai dengan pihak ketiga dapat berupa sewa-menyewa atau bagi hasil. Dalam perjanjian dengan pihak ketiga, pemegang gadai tidak berkewajiban meminta persetujuan dengan penggadai, penggadai hanya mempunyai hubungan dengan pemegang gadai. Sebagai contoh bisa diadakannya perjanjian sewa sawah atau bagi hasil sawah yang  dilakukan pemegang gadai dengan pihak ketiga. Perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemegang gadai dengan pihak ketiga diperbolehkan selama hanya sebatas berada dalam lingkup penguasaan. Ketika perbuatan hubungan hukum yang dilakukan dengan pihak ketiga melebihi itu maka tidak diperbolehkan, seperti perjanjian jual-beli antara pemegang gadai dengan pihak ketiga. Hal tersebut tidak diperbolehkan karena melebihi penguasaan, perbuatan jual-beli hanya bisa dilakukan oleh pemilik sawah atau tanah bukan penguasa sawah atau tanah. Dalam KUHPer, pemegang gadai (pegadaian) tidak berhak untuk memanfaatkan barang gadai apalagi sampai melakukan hubungan hukum dengan pihak lain. Pemegang gadai hanya berhak menyimpan dan berkewajiban menjaga barang yang digadaikan itu.
Perbedaan selanjutnya adalah konsekuensi ketidakmampuan penggadai dalam menebus barang gadai. Pelaksanaan gadai hukum adat tidak mengatur lamanya waktu gadai, gadai akan berakhir setelah penggadai menebus barang gadai. Jika pengadai belum mampu menebus maka hubungan gadai tersebut akan terus berlangsung. Apabila pemegang gadai membutuhan uang sementara penggadai belum mampu menebusnya maka sawah gadai tersebut dapat dialihkan hubungan gadainya, sering disebut dengan mengoper gadai. Pemegang gadai menggadaikan lagi sawah tentunya dengan sepengetahuan pemilik sawah dalam hal ini penggadai. Cara lain yang dapat ditempuh jika penggadai tidak mampu menebus sawahnya adalah dengan jual-lepas. Pemegang gadai ingin mengakhiri hubungan gadai sementara penggadai tidak mampu menebusnya maka dapat diakhiri dengan jual-lepas. Penggadai menjual tanah tersebut ke pemegang gadai, pemegang gadai akan menambah sejumlah uang untuk membeli sawah tersebut sehingga harganya sesuai dengan harga jual pada waktu itu. Sedangkan dalam pelaksanaan gadai dalam KUHPer, ketika penggadai tidak mampu membayar tebusan barang gadai dalam waktu yang telah disepakati maka pegadaian sebagai pemegang gadai akan melakukan lelang. Barang jaminan yang tidak ditebus pada waktunya akan dilelang, hasil dari lelang akan digunakan untuk membayar uang yang dipinjam penggadai dari pemegang gadai.








BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A.  Dasar Hukum Perjanjian Gadai Tanah / Sawah
        Dalam istilah fiqih, gadai dikenal dengan sebutan ar-rahn. Para fuqaha sepakat membolehkan praktek gadai ini, asalkan tidak terdapat praktek yang dilarang, seperti riba atau penipuan. Di masa Rasulullah praktek rahn pernah dilakukan. Kita dapati banyak riwayat tentang hal itu dan salah satunya adalah hadits berikut ini.
Dari Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang yahudi dengan cara menggadaikan baju besinya. (HR Bukhari dan Muslim)
Dahulu ada orang menggadaikan kambingnya. Rasul ditanya bolehkah kambingnya diperah. Nabi mengizinkan, sekadar untuk menutup biaya pemeliharaan.
Apabila ada ternak digadaikan, punggungnya boleh dinaiki (oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya… Kepada orang yang naik ia harus mengeluarkan biaya perawatannya”, (HR Jamaah kecuali Muslim dan Nasa’i, Bukhari no. 2329, kitab Ar-Rahn).
       Dari kedua hadits di atas, bisa kita simpulkan bahwa Rasullulah mengizinkan kita melakukan praktek gadai, bahkan dibolehkan juga buat kita untuk mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan. Sebagai menutup biaya pemeliharaan.
       Biaya pemeliharaan ini yang kemudian dijadikan ladang ijtihad para pengkaji keuangan syariah, sehingga gadai atau rahn ini menjadi produk keuangan syariah yang cukup menjanjikan.
       Pesatnya pertumbuhan perokonomian di Indonesia, maka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang dianggap sebagai keperluan bersifat mendesak, maka pemerintah memberikan jasa di bidang perkreditan yang didasarkan jaminan bagi orang yang meminjam dari jasa pegadaian. Pegadaian adalah salah satu dari lembaga perkreditan yang ditangani oleh pemerintah di bawah naungan Depertemen Keuangan. Dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang membutuhkan dana yang sifatnya mendesak. Gadai merupakan suatu perjanjian pemindahan hak milik kepada orang lain setelah adanya peminjaman sejumlah uang dengan memberikan jaminan barang bergerak. Gadai bukan perjanjian pemilikan atas suatu benda dan bukan pula perjanjian atas manfaat suatu benda (seperti sewa menyewa), melainkan hanya sekedar jaminan untuk suatu utang piutang.
B.  Upaya Penyelesaian Permasalahan Perselisihan atau Konflik Waktu Perjanjian Gadai Tanah/Sawah.
Salah satu yang sangat rentan dapat menimbulkan permasalahan dan konflik dalam perjanjian gadai tanah diantara para pihak yang melakukan perjanjian ini yaitu mengenai waktu gadai yang merupakan masa atau lamanya barang gadai berada di tangan penerima gadai hingga sampai pada saat pemberi gadai dapat menebusnya kembali.
Kebijaksanaan hukum adat dalam upaya agar tidak terjadi perselisihan para pihak yang melakukan perjanjian, waktu penebusan gadai tanah tersebut terserah pada pemberi gadai, akan tetapi hal ini tidak berarti pemberi gadai merugikan penerima gadai, kecuali untuk tanah gadai yang tidak diusahakan. Untuk tanah gadai yang diusahakan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a.       Untuk tanah sawah, jika yang mengerjakan sawah itu penerima gadai maka, pemberi gadai harus menunggu penyerahan kembali tanah gadai setelah tanaman dipanen atau “hak ketam” (memungut hasil tanaman/panen) tetap berada pada pemilik tanaman atau penggarap tanaman itu, kecuali disepakati kedua belah pihak bahwa pemberi gadai mengganti kerugian yang diminta penerima gadai/penggarap.
b.      Untuk tebat atau tanah perikanan yang diusahakan pemberi gadai harus memberikan kesempatan bagi penerima gadai/pengusaha perikanan tersebut untuk menikamati hasil ikan semusim atau mengambil kembali bibit ikannya demikian pula untuk buah-buahan kesempatan panen bagi penerima gadai/penggarapnya harus diberikan.
Seperti yang telah tercantun dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 PRP tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian menyebutkan mengenai batas waktu penebusan gadai atas tanah pertanian dimaksudkan untuk melindungi pihak yang ekonominya lemah yaitu petani, yang dalam keadaan mendesak dan memerlukan uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya sehingga mereka menggadaikan tanah sawahnya dalam tenggang waktu 7 (tujuh) tahun.
      Mengenai waktu gadai, objek gadai, harga gadai (nilai atas objek gadai), serta kesepakatan-kesepakatan lainnya antara para pihak dituangkan dalam sebuah perjanjian gadai tanah yang bersifat tertulis. Meskipun pada dasarnya hukum adat tidak mengenal tulisan sebagai alat bukti dalam suatu perbuatan hukum yang dibuat oleh warganya. Namun apabila melihat pada kelebihan dari bentuk perjanjian gadai adat yang dibuat secara tertulis dan lisan, maka perjanjian gadai adat yang dibuat dalam bentuk tulisan akan lebih kuat dan memberikan perlindungan hukum bagi para pihak dibandingkn perjanjian yang dibuat hanya dalam bentuk lisan saja.
Upaya masa tenggang waktu penebusan kembali tanah yang dijadikan sebagai objek gadai telah berakhir, pemberi gadai (pemilik tanah) setiap waktu dapat saja menggunakan hak tebusnya meskipun masa perjanjian telah lama berakhir, hak tebus ini tidak akan hilang karena kadaluwarsa (verjaring) atau dengan kata lain akan tetap ada.
Upaya lain yang dapat menjadi salah satu alternative penyelesaian masalah tidak dapat ditebusnya tanah yang merupakan objek gadai oleh pemilik adalah penerima gadai dapat menggadaikan kembali (mengalih gadaikan) tanah tersebut kepada pihak lain dengan ataupun tanpa persetujuan si pemilik tanah (pemberi gadai), hal ini dapat terjadi apabila penerima gadai dalam keadaan sangat memerlukan uang, sedangkan si penerima gadai belum mampu untuk menggunakan hak tebusnya karena belum mempunyai uang misalnya. Upaya lain adalah dengan menjual tanah yang dijadikan sebagai objek gadai tersebut kepada si penerima gadai ataupun kepada pihak lainnya.
            Dengan demikian apabila pemilik tanah (pemberi gadai) belum mampu menebus kembali tanah yang merupakan objek gadai sedangkan waktu penebusannya telah lewat, maka tanah tersebut tidak bisa langsung menjadi milik si penerima gadai secara otomatis, karena perlu diadakannya suatu transaksi lagi seperti tersebut diatas. Namun apabila tanah yang menjadi objek gadai dijual oleh pemberi gadai kepada pihak lain, maka hasil dari penjualan tersebut digunakan untuk mengembalikan uang milik penerima gadai dan kelebihan dari hasil penjualan dikembalikan pada pemilik (pemberi gadai).